Probolinggo – Para pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bestari, Kota Probolinggo, menghadapi tekanan hidup yang semakin berat dalam beberapa tahun terakhir. Selama tiga hingga tujuh tahun, mereka menggantungkan hidup dengan memungut barang-barang bernilai jual dari tumpukan sampah, seperti botol plastik dan kardus, yang dikumpulkan dalam dua hingga empat karung setiap hari.
Namun, belakangan ini, pendapatan mereka terus menurun. Salah satu penyebab utamanya adalah praktik pengambilan barang-barang bernilai oleh sopir truk sampah sebelum para pemulung sempat memilahnya. Kondisi ini menggerus sumber penghasilan utama mereka.
Melihat situasi tersebut, Komunitas Karsa Rakyat Probolinggo turun langsung ke lokasi untuk melakukan penelitian. Bima, salah satu anggota komunitas, mengatakan bahwa studi ini bertujuan mengidentifikasi tantangan yang dihadapi pemulung serta kebutuhan mereka, guna merumuskan rekomendasi kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan kelompok marjinal tersebut.
“Selama ini para pemulung seolah terabaikan. Mereka belum pernah mendapat bantuan sosial maupun akses pada program pemberdayaan ekonomi,” ujarnya.
Para pemulung berharap adanya perhatian serius dari pemerintah. Mereka menginginkan pelatihan keterampilan atau akses ke lapangan pekerjaan yang lebih layak, agar dapat keluar dari jerat kemiskinan.
“Saya berharap ada langkah konkret dari pemerintah. Kalau terus bergantung pada hasil dari TPA ini, penghasilannya tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari,” keluh seorang pemulung yang enggan disebutkan namanya.
Kondisi ini menjadi potret nyata minimnya perlindungan terhadap kelompok rentan. Pemerintah daerah diharapkan dapat merancang kebijakan yang inklusif, berkelanjutan, dan menyentuh langsung kehidupan masyarakat bawah.
Pewarta : Afandy | Editor : Andy
