PROBOLINGGO-Aktivitas pertambangan yang terus berlangsung di Kabupaten Probolinggo kembali menuai sorotan publik. Pasalnya, kegiatan tambang yang marak di sejumlah wilayah dinilai telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius dan mengancam keselamatan warga sekitar. Hutan yang dulunya rimbun kini berubah menjadi lahan gersang dan berlubang, sementara aliran sungai yang dahulu jernih kini keruh akibat endapan lumpur dan limbah tambang.
Sejumlah warga menyatakan keprihatinannya atas kondisi ini. Mereka menilai pemerintah daerah dan aparat penegak hukum terkesan tutup mata terhadap praktik penambangan yang merusak lingkungan.
“Saya sebagai putra daerah Probolinggo sangat prihatin melihat kondisi ini. Kita tidak ingin lagi melihat lingkungan kita rusak seperti ini. Kita ingin hidup di lingkungan yang sehat dan aman,” ujar salah satu warga dengan nada geram.
Keresahan masyarakat ini juga disuarakan oleh Ketua Gerakan Masyarakat Peduli Korupsi (GMPK) Kabupaten Probolinggo, Sholehudin, yang menilai pemerintah daerah gagal menjalankan fungsi pengawasan.
“Pemerintah daerah harusnya menjadi pelindung masyarakat, bukan menjadi pembiar bagi pelaku penambangan ilegal. Sudah seharusnya mereka bertindak tegas terhadap pelaku tambang yang jelas-jelas merusak lingkungan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Sholehudin menyoroti bahwa aktivitas tambang bahkan merusak akses jalan menuju kawasan wisata nasional Gunung Bromo, yang telah diakui UNESCO sebagai bagian dari cagar biosfer dunia.
“Bayangkan, jalan menuju destinasi wisata internasional rusak parah akibat truk tambang yang lalu lalang setiap hari. Siapa yang akan bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan infrastruktur itu?” ujarnya dengan nada tajam.
Keprihatinan warga tidak berhenti di situ. Mereka menilai bahwa aparat penegak hukum (APH) maupun DPRD Kabupaten Probolinggo belum menunjukkan langkah konkret dalam menangani persoalan ini.
“Yang paling memprihatinkan justru sikap diam dari Pemkab, APH, dan DPRD. Mereka seolah menunggu laporan dulu baru bertindak. Padahal masyarakat yang melapor justru sering mendapat tekanan dan intervensi dari pihak pelaku tambang. Semua orang tahu di Probolinggo banyak tambang, tapi kenapa tidak ada tindakan? Apa harus menunggu ada korban baru turun tangan?” ujar salah satu tokoh masyarakat dengan nada kecewa.
Lebih jauh, masyarakat menilai ketimpangan antara dampak lingkungan dan kontribusi ekonomi dari tambang sangat mencolok.
“Adanya tambang ini tidak sebanding dengan penghasilan daerah. Ini menjadi pertanyaan besar—apakah pendapatan daerah dari tambang sudah sesuai aturan, atau justru ada oknum yang bermain dengan pelaku tambang?” tambah Sholehudin.
Fenomena ini memunculkan dugaan adanya praktik kolusi dan lemahnya tata kelola pemerintahan daerah. Data terbaru menunjukkan Kabupaten Probolinggo menempati peringkat keempat dari bawah dalam indeks kinerja pemerintahan daerah di Jawa Timur, menandakan perlunya pembenahan serius dalam aspek transparansi, pengawasan, dan tata kelola lingkungan.
Kasus ini kini menjadi perhatian luas masyarakat dan kalangan aktivis lingkungan. Publik menunggu langkah nyata dari Pemerintah Kabupaten Probolinggo, aparat penegak hukum, dan DPRD untuk menghentikan praktik tambang yang tidak berizin serta memulihkan lingkungan yang telah rusak.
Pertanyaannya kini: apakah pemerintah daerah akan segera bertindak tegas melindungi warganya, atau justru terus membiarkan kerusakan ini berlanjut?
Masyarakat Probolinggo menunggu jawabannya.