Feodalisme Pesantren dan Ironi Dunia Modern
Oleh: G.g. Lazuardi
Mereka menyebut pesantren feodal.
Katanya, kiai adalah raja kecil yang dikelilingi santri yang tunduk tanpa daya.
Mereka menuduh tradisi itu membunuh kebebasan berpikir, mengekang nalar, dan menidurkan kritisisme.
Tapi apakah mereka benar-benar mengerti dunia yang mereka hakimi?
Mereka lupa-setiap budaya lahir dari rahimnya sendiri.
Dari tanah yang ditapaki, dari udara yang dihirup, dari rasa yang dijaga turun-temurun.
Budaya bukan teori, bukan hasil diskusi para akademisi di ruang berpendingin.
Budaya adalah cara manusia bertahan, cara mereka memuliakan hidup.
Maka, tidak ada satu budaya pun yang pantas menjadi hakim bagi budaya lainnya.
Sebab setiap kebudayaan tumbuh dari luka, cinta, dan pencarian makna yang tak sama.
Epistemologi yang Dipaksakan
Kesombongan terbesar dunia modern ialah ketika ia memaksakan kacamata Barat untuk membaca dunia.
Mereka mengukur setiap realitas dengan ukuran Eropa,seolah rasionalitas adalah satu-satunya matahari yang sah menerangi bumi.
Padahal, feodalisme yang mereka bicarakan lahir dari sejarah mereka sendiri: masa ketika lord memiliki tanah, dan rakyat menjadi vassal yang hanya menunggu belas kasihan.Dari masa gelap itu lahirlah egalitarianisme sebuah reaksi yang kemudian dijadikan dogma universal.
Namun pesantren bukanlah Eropa.
Ia lahir dari rahim spiritualitas Nusantara: tempat adab menjadi tiang, dan kebijaksanaan menjadi atap.Kiai bukan penguasa, melainkan penjaga cahaya.
Santri bukan abdi, melainkan peziarah ilmu yang datang membawa kerendahan hati.
Hubungan mereka bukan transaksi ekonomi, melainkan tali simbolik antara ilmu dan pengabdian.
Pemberian kepada kiai bukanlah upeti, melainkan tanda cinta dan rasa syukur atas ilmu yang menuntun jalan hidup.
Ketika epistemologi Barat dipaksakan untuk menilai dunia pesantren,
yang terjadi bukan pencerahan , melainkan kekacauan makna.
Karena masyarakat hidup bukan dengan teori, tapi dengan aturan budaya yang mengalir di dalam darahnya.
Ironi Feodalisme Modern
Yang ironis, mereka yang menuduh pesantren feodal justru hidup dalam feodalisme yang lebih halus, tapi lebih kejam.
Mereka tunduk pada bos di kantor, pada angka di dashboard media sosial,
pada sistem korporasi yang mengukur nilai manusia dari produktivitas, bukan dari keluhuran akhlak.
Mereka menyembah citra, mengabdi pada algoritma, dan menuhankan likes.
Namun dengan lantang menertawakan santri yang mencium tangan kiainya.
Di pesantren, uang diberikan dengan niat mencari berkah dan restu ilmu.
Namun di dunia modern, orang berlomba memberi gift digital dan saweran kepada selebgram dan streamer
bukan karena cinta, melainkan karena haus validasi dan ilusi kedekatan.
Tidak ada yang menyebut itu feodalisme.
Padahal, di balik layar itu, manusia sedang bersujud pada kehampaan.
Kiai menerima pemberian dengan doa;
seleb menerima gift dengan emoji.
Inilah feodalisme digital:
hierarki baru yang memenjarakan manusia di balik layar,
menukar makna dengan sensasi, dan mengganti rasa hormat dengan tepuk tangan kosong.
Feodalisme Spiritual vs Feodalisme Digital
Jika harus disebut feodal, maka pesantren adalah feodalisme spiritual
feodalisme yang melahirkan adab, kesetiaan, dan kebijaksanaan.
Di sana, penghormatan tidak berarti perbudakan,
melainkan kesadaran bahwa ilmu tidak bisa tumbuh tanpa kerendahan hati.
Sebaliknya, feodalisme digital adalah feodalisme tanpa jiwa.
Ia melahirkan manusia yang lapar perhatian,
yang tunduk pada konten dan komentar,
yang beribadah kepada algoritma, bukan kepada nilai.
Dalam dunia pesantren, pemberian berarti barakah.
Dalam dunia digital, pemberian berarti engagement.
Yang satu menyembuhkan jiwa,yang lain menumpuk kehampaan.
Krisis Nilai Dunia Modern
Dunia modern gemar memuja nalar, tapi lupa menyalakan hati.
Mereka menertawakan tradisi, padahal hidup mereka sendiri diatur oleh sistem yang lebih keras.
Mereka mengira bebas, padahal terjajah oleh opini publik dan algoritma.
Mereka berkata pesantren feodal,
padahal dunia mereka lebih penuh hierarki:
ada bos, ada bawahan, ada atasan, ada pekerja
dan mereka menyebutnya profesionalisme.
Feodalisme spiritual melahirkan ketaatan yang beradab,
sementara feodalisme modern melahirkan ketergantungan tanpa makna.
Penutup: Kembali ke Rahim Kearifan
Budaya tidak bisa dihakimi oleh budaya lain.
Tradisi tidak bisa diukur dengan teori yang lahir dari rahim asing.
Setiap budaya memiliki logika dan jiwanya sendiri,
yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang hidup di dalamnya.
Ketika epistemologi Barat dipaksakan atas budaya Nusantara,
yang hancur bukan hanya struktur sosial,
tetapi ruh kearifan yang telah menjaga keseimbangan selama berabad-abad.
Maka, barangkali dunia modern perlu belajar kembali dari pesantren
tentang bagaimana adab lebih tinggi dari akal,
bagaimana ketundukan bisa menjadi cinta,
dan bagaimana hierarki bisa menciptakan harmoni.Sebab sejatinya,manusia Nusantara hidup bukan dengan aturan tertulis,melainkan dengan aturan yang mengalir bersama darahnya.Dan selama darah itu masih mengalir, tradisi tidak akan mati meski dunia modern sudah lupa bagaimana cara berterima kasih. Mereka menganggap memberi kepada kiai adalah feodal, tapi mereka rela menyawer layar kosong demi rasa diterima yang tak pernah benar-benar ada.
G.g. Lazuardi
Pemerhati budaya dan pendidikan. Penulis reflektif yang menjembatani spiritualitas, kearifan lokal, dan modernitas.