Aksi Damai Menuntut Tanggung Jawab Media atas Tayangan yang Dinilai Merendahkan Marwah Pesantren
Probolinggo, 19 Oktober 2025 –Pagi hingga siang ini, ribuan santri dari berbagai pondok pesantren di Kabupaten Probolinggo melakukan aksi damai di halaman gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Probolinggo (DPRD Kabupaten Probolinggo). Aksi ini digerakkan sebagai respons terhadap tayangan program Xpose Uncensored yang disiarkan oleh Trans7, yang menurut para peserta aksi telah melecehkan tradisi pesantren dan martabat kiai serta santri.
Aksi yang dipusatkan di Gedung DPRD ini dihadiri oleh sejumlah tokoh dan elemen masyarakat. Diantaranya adalah:
- Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kraksaan (PCNU Kraksaan) beserta banom-banomnya.
- Ketua Pagar Nusa Kraksaan beserta jajaran.
- Ansor Kraksaan dan aliansi santri yang tergabung melalui berbagai pondok pesantren besar di kabupaten tersebut.
- Organisasi kemahasiswaan seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
- Kehadiran unsur pemerintahan, yakni Haris (Bupati Kabupaten Probolinggo) dan Wakil Bupati, yang juga memberikan orasi dalam aksi tersebut.
- Keikutsertaan aparat keamanan seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam pengamanan jalannya aksi.
- Banom partai PKB (Panji bangsa & Garda Bangsa)
Dalam orasinya, Bupati Haris menyampaikan peringatan kepada media untuk lebih berhati-hati dalam pemberitaan dan tayangan. “Kami santri tidak terima jika kiai kami dihina,” ujarnya dalam orasi
Tuntutan dan Latar Belakang Aksi
Aksi massal ini tidak berdiri sendiri melainkan merupakan kelanjutan dari gelombang protes yang muncul setelah tayangan program “Xpose Uncensored” yang menampilkan narasi menyinggung kehidupan santri secara stereotip dan dinilai menodai kehormatan pesantren. Contoh yang dikutip antara lain narasi “santrinya minum susu aja kudu jongkok” yang muncul dalam potongan tayangan tersebut.
Beberapa tuntutan utama para peserta aksi antara lain:
- Permintaan maaf terbuka secara resmi dari Trans7 atas tayangan yang dianggap melecehkan pesantren.
- Klarifikasi dan perilisan revisi atau permintaan maaf pihak media serta evaluasi internal program yang menimbulkan kontroversi.
- Panggilan dan pemeriksaan oleh lembaga penyiaran dan pemerintah terkait terhadap pelanggaran etika dan norma penyiaran yang dianggap telah dilakukan. Sebagai contoh, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah diminta untuk menghentikan sementara program tersebut.
Dampak Publik dan Respons Institusi
Respons terhadap batu loncatan aksi ini telah meluas di ranah nasional. Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Probolinggo (MUI Kabupaten Probolinggo) misalnya mengecam tayangan tersebut dan mendesak media untuk mempertanggung-jawabkan perlakuannya terhadap lembaga pesantren.
Lebih jauh, sejumlah legislator juga menanggapi dengan serius kasus ini. Sebuah rilis dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengungkapkan bahwa mereka meminta KPI menghentikan sementara program “Xpose Uncensored” mengingat potensi pelanggaran norma penyiaran.
Sementara itu, dalam kerangka etika media dan jurnalisme, insiden ini menjadi indikator betapa pentingnya keseimbangan, sensitivitas budaya, klarifikasi, dan verifikasi dalam produksi konten penyiaran. Tayangan yang memuat stereotip atau narasi tendensius terhadap kelompok sosial ataupun institusi keagamaan dapat memicu distorsi persepsi publik dan menimbulkan konflik sosial. Para aktivis pesantren menilai bahwa media seharusnya membangun literasi bukan stigmatisasi terhadap pesantren.
Aksi damai di Kabupaten Probolinggo ini menandai titik ketegangan antara dunia pesantren dan industri media penyiaran. Tuntutan yang diajukan para santri dan kiai bukan hanya soal permintaan maaf, tetapi juga soal pengakuan hak pesantren sebagai institusi sosial-kultural yang memiliki martabat dan peran strategis dalam masyarakat Indonesia.
Bagi dunia media, kejadian ini menjadi pengingat penting bahwa kebebasan pers dan kreativitas program tidak boleh mengabaikan norma sosial, keagamaan, dan budaya. Sebaliknya, bagi pemerintah dan lembaga regulasi, insiden ini memunculkan tantangan untuk menegakkan standar penyiaran yang menghormati pluralitas, martabat lembaga keagamaan, dan kewajaran pemberitaan.
Seiring upaya dialog yang tengah dibuka antara pihak pesantren, media, dan regulasi penyiaran-proses yang bersifat transparan, bertanggung jawab, dan inklusif menjadi kunci agar konflik sosial semacam ini tidak berulang.(ma/su)