-->

Notification

×

apakah koprasi merah putih adalah solusi?

Selasa, 20 Mei 2025 | Mei 20, 2025 WIB | Last Updated 2025-05-21T01:54:40Z


Membangun Desa : Saat Negara Menyerahkan Bebannya pada Rakyat.

Oleh : G.G. LAZUARDI 

Dalam beberapa tahun terakhir, narasi besar pembangunan nasional kian sering menggembar-gemborkan pentingnya peran desa. Desa disebut sebagai tulang punggung ekonomi, pusat ketahanan pangan, hingga lokomotif kemandirian bangsa. Namun di balik pujian dan jargon tersebut, tersimpan kenyataan pahit: beban pembangunan perlahan dialihkan kepada rakyat, tanpa dukungan nyata dari negara.

Salah satu contohnya adalah kebijakan terbaru yang mendorong masyarakat untuk bergerak melalui koperasi. Pemerintah berdalih bahwa anggaran terbatas, sehingga desa diminta mencari siasat sendiri: membentuk koperasi, merancang program, mencari pendanaan, bahkan menutup celah kebutuhan publik melalui lembaga ekonomi lokal.

Secara prinsip, pemberdayaan desa tentu patut diapresiasi. Namun jika koperasi rakyat dijadikan solusi atas lemahnya komitmen fiskal pemerintah, maka ini bukan pemberdayaan—ini pengalihan tanggung jawab. Terlebih ketika para pengurus koperasi diminta bekerja dengan upah yang tidak jelas. Memang, insentif mereka diharapkan berasal dari keuntungan koperasi itu sendiri. Tetapi bagaimana jika partisipasi masyarakat rendah? Bagaimana jika koperasi belum mampu menghasilkan keuntungan dalam waktu dekat? Maka insentif pengurus akan terganggu. Di sinilah letak problematikanya: pengabdian dituntut, tapi kelangsungan hidup mereka diabaikan.

Bagaimana mungkin kita bicara inovasi desa, jika para penggeraknya dibiarkan hidup dalam ketidakpastian? Negara menuntut kreativitas, tapi abai pada kebutuhan dasar mereka yang diminta berinovasi. Mereka bukan relawan ideologis, melainkan warga negara yang hak atas pekerjaan dan penghidupan layaknya dijamin konstitusi.

Lebih ironis lagi, koperasi yang diharapkan menjadi motor pembangunan kadang diarahkan untuk membuka unit usaha yang justru bersaing langsung dengan warung rakyat. Alih-alih memperkuat ekonomi lokal, beberapa model koperasi malah berpotensi melemahkan usaha kecil yang sudah lebih dulu bertahan.

Jika negara benar-benar ingin desa bergerak maju, maka koperasi rakyat tidak cukup hanya diberi status hukum. Ia butuh alat produksi, akses teknologi, jaminan pasar, dan yang paling utama: kehadiran negara—bukan sekadar dalam bentuk pidato, tetapi dalam bentuk kebijakan, anggaran, dan keberpihakan nyata.

Mengapa tidak ada distribusi alat-alat modern ke desa, seperti printer 3D, mesin CNC, atau laboratorium mini untuk produksi lokal? Mengapa anggaran transformasi digital justru tersentralisasi di kota-kota besar, sementara desa didorong “kreatif” dengan sarana seadanya?

Jika pembangunan benar-benar ingin dimulai dari desa, maka negara harus berhenti memperlakukan desa sebagai perpanjangan tangan birokrasi pusat. Desa adalah subyek, bukan pelaksana. Rakyat bukan relawan, tetapi pemilik sah republik ini.

Koperasi rakyat sejatinya adalah jalan mulia menuju keadilan sosial dan kemandirian ekonomi. Namun jika ia dibiarkan berjalan tanpa dukungan struktural dan hanya dijadikan tameng atas ketidakmampuan negara mengelola anggaran, maka ini bukan pemberdayaan—ini eksploitasi terselubung.

Sudah saatnya kita bertanya: apakah kita benar-benar membangun dari desa, atau justru memindahkan beban negara ke pundak rakyat desa?

×
Berita Terbaru Update
Lapor Portal

Dukung Portal Probolinggo

QRIS Portal Probolinggo

Scan kode QRIS di atas untuk berdonasi

💸
Scan QRIS untuk Donasi

QRIS Portal Probolinggo

-->