Desakan publik agar Pemerintah Kabupaten Probolinggo mengusut tuntas dugaan pesta minuman keras yang menewaskan dua pemuda di Desa Temenggungan, semakin menguat. Komisi I DPRD, tokoh masyarakat, dan saksi mata menyerukan pentingnya penegakan hukum yang tegas dan transparan, menyusul kemunculan banner protes warga serta belum adanya kejelasan hasil kajian dari Inspektorat maupun pemerintah desa.
Banner Protes dan Desakan Keadilan dari Masyarakat
Sebuah banner bertuliskan “Usut Tuntas Pesta Miras di Desa Temenggungan” mendadak muncul di area publik desa, memicu sorotan luas. Banner tersebut dianggap sebagai bentuk perlawanan diam-diam dari warga yang menuntut kejelasan hukum dan transparansi atas kematian dua pemuda yang diduga terjadi setelah mengonsumsi minuman keras di rumah kepala desa.
Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sendiri mengaku tidak mengetahui asal-usul banner tersebut. “Saya baru datang dari Kraksaan, mas. Tidak tahu ada banner,” ujar salah satu anggota BPD saat dikonfirmasi.
Kesaksian Kunci dari Saksi Mulyadi
Mulyadi, warga sekaligus saksi mata, mengaku sempat diajak oleh salah satu korban ke lokasi yang diduga menjadi tempat pengambilan minuman keras. Ia menyebut jerigen berisi cairan sekitar 20 liter dibawa ke rumah, lalu beberapa orang termasuk korban mengonsumsi minuman tersebut. Mulyadi sendiri mengaku sempat mencicipi namun kemudian merasa pusing dan memilih pulang.
“Minumnya di barat rumah Andi, dekat musala. Setelah itu saya udah nggak kuat, pusing, lalu pulang,” katanya. Ia juga tak dapat memastikan siapa saja yang ada di lokasi saat peristiwa berlangsung.
Komisi I DPRD Desak Pemerintah Bertindak Cepat
Anggota Komisi I, Muchlis, menyatakan bahwa Pemkab harus segera menyampaikan hasil kajian dugaan pelanggaran etika ini kepada publik agar tidak terjadi spekulasi liar. Ia menegaskan bahwa jika terbukti ada pelanggaran berat, maka mekanisme administratif hingga pemberhentian permanen harus ditegakkan.
“Inspektorat harus gerak cepat. Tidak ada alasan menunda. Kalau memang sudah ditemukan pelanggaran, ya sanksi harus sesuai aturan. Teguran, pemberhentian sementara, atau permanen,” tegas Muchlis, Selasa (21/5/2025).
Habib Mustofa: Pemerintah Terlalu Normatif, Tak Menjawab Keadilan Publik
Habib Mustofa, tokoh masyarakat yang mengikuti audiensi, menyampaikan kritik keras terhadap lambannya sikap eksekutif. Ia menilai respons pemerintah masih normatif dan tidak memberi kepastian hukum bagi masyarakat Temenggungan.
“Saya tidak rela kalau Bupati dianggap tidak tegas hanya karena staf-stafnya lamban menyampaikan hasil kajian. Harusnya dari awal sudah disampaikan ke publik. Masyarakat sudah menunggu sebulan,” ujar Habib Mustofa.
Ia juga menekankan pentingnya tindakan konkret. “Kalau memang ada pelanggaran, sampaikan. Teguran SP1, SP2, pemberhentian, apapun itu. Jangan biarkan masyarakat terus bertanya tanpa jawaban,” tambahnya.
Suprihatin: Kami Tak Membela Eksekutif, Kami Kawal Hukum
Anggota Komisi I lainnya, Suprihatin, menegaskan bahwa pihaknya tetap berada di posisi netral dan akan terus mengawal penegakan hukum. Ia juga mengklarifikasi bahwa Komisi I telah berkoordinasi aktif dengan Inspektorat, bagian hukum, dan pihak kepolisian.
“Bukan berarti kami membela eksekutif. Kami justru ingin memastikan bahwa hukum ditegakkan seadil-adilnya. Kami tidak diam,” tegasnya.
Ia juga menyinggung soal visum yang belum keluar, dan lambatnya laporan dari masyarakat. “Pesta diduga terjadi tanggal 26, korban meninggal tanggal 29, tapi laporan baru masuk tanggal 5. Polres langsung naikkan ke tahap penyidikan, itu cepat. Tapi kalau Inspektorat lambat, ya kita akan terus dorong,” ujarnya.
Kasus dugaan pesta miras yang menewaskan dua pemuda di Desa Temenggungan menjadi potret penting tentang perlunya transparansi, ketegasan hukum, dan kepemimpinan moral di tingkat desa. Suara masyarakat, DPRD, dan tokoh publik telah bulat: pemerintah tidak bisa lagi diam. Keadilan harus ditegakkan, dan kebenaran harus disampaikan ke publik tanpa ditutup-tutupi.