
PROBOLINGGO-Banjir bandang dan longsor yang melanda Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo, dinilai bukan peristiwa tiba-tiba, melainkan akibat akumulasi kerusakan lingkungan masa lalu di kawasan hulu lereng Gunung Argopuro.
Pada Minggu, 21 Desember 2025, Fahmi Abdul Haq Zaini menyerahkan bantuan kepada warga terdampak banjir, melakukan penanaman pohon di sepanjang bantaran sungai, serta meninjau langsung rumah-rumah warga yang terdampak longsor di Desa Andungbiru, Kecamatan Tiris. Di lokasi tersebut, jembatan penghubung desa terlihat putus akibat terjangan banjir bandang, sehingga akses warga sempat terisolasi.

Sebelumnya, kepala daerah juga telah turun langsung ke lokasi untuk membantu pembangunan jembatan sementara bersama warga, guna memastikan aktivitas masyarakat tetap berjalan pascabencana.
Namun di balik penanganan darurat tersebut, warga Andungbiru menilai akar persoalan banjir belum sepenuhnya disentuh. Menurut mereka, banjir di Tiris bukan disebabkan pembalakan atau penebangan liar yang baru terjadi, melainkan dampak dari pembukaan dan pembebasan lahan di masa lalu, termasuk di kawasan PTPN yang kemudian dialihfungsikan menjadi kebun kopi di lereng rawan longsor.
“Ini dampak lama. Dulu kawasan atas dibuka, hutannya habis, lalu dijadikan kebun kopi. Sekarang setiap hujan deras, tanahnya tidak kuat menahan air,” ujar salah seorang warga Andungbiru.
Indikasi kerusakan kawasan hulu terlihat jelas di lokasi jembatan yang putus. Sejumlah pohon kopi ditemukan tersangkut di badan jembatan, terbawa arus banjir dari wilayah atas. Warga menilai temuan tersebut menjadi bukti bahwa tanaman kopi berada di zona yang seharusnya berfungsi sebagai daerah tangkapan air dan penahan lereng.
“Kalau pohon kopi sampai hanyut dan nyangkut di jembatan, itu artinya memang tidak seharusnya ditanam di situ. Itu wilayah rawan longsor,” kata warga lainnya.
Pandangan tersebut diperkuat oleh Zainal Arifin, salah satu pegiat lingkungan dari Ranger SAE Patenang. Ia menegaskan bahwa banjir Tiris merupakan alarm ekologis akibat kesalahan tata kelola lahan di kawasan hulu.
“Banjir di Tiris ini bukan tanpa sebab. Ini akibat pembukaan dan pembalakan di masa lalu. Ketika hutan diganti kebun kopi di lereng rawan, longsor dan banjir hanya tinggal menunggu waktu,” tegas Zainal.
Ia menekankan pentingnya membedakan antara aktivitas masyarakat kecil dan kerusakan lingkungan berskala besar.
“Kalau masyarakat kecil bertani untuk bertahan hidup, itu bisa dibina dan diatur. Tapi pembukaan lahan skala besar dampaknya luar biasa dan harus ditindak tegas,” ujarnya.
Zainal menilai banjir yang terjadi saat ini baru tahap peringatan, bukan puncak bencana.
“Ini alarm keras. Kalau pembenahan di hulu Argopuro tidak dilakukan secara serius, kejadian seperti ini akan terus berulang dengan dampak yang lebih besar,” katanya.
Ia mendorong agar penanganan banjir tidak berhenti pada penyerahan bantuan dan penanaman pohon semata, tetapi disertai evaluasi menyeluruh tata kelola lahan, pemulihan daerah tangkapan air, serta penegakan hukum lingkungan.
“Pembangunan harus berjalan, tetapi tidak boleh mengorbankan keberlanjutan. Kalau hari ini abai, generasi berikutnya yang akan menanggung risikonya,” pungkasnya.